Ini gentong dari tanah liat bakar. Dulu sekali waktu
saya masih kecil masih sering melihat benda ini digunakan untuk wadah air atau
untuk menyimpan beras. Kalau untuk wadah air diletakkan di dapur, kadang juga
diletakkan di jeding. Kalau untuk menyimpan beras dimasukkan ke kamar, ke
pedaringan. Ukurannya beragam, dari yang mungil sampai yang besar gendut (tapi
semuanya berperut gendut dan bermulut lebar). Penjual gentong seringkali
memikul dagangannya berkeliling. Membawa 2 buah gentong menggunakan pikulan.
Pemandangan yang kini tidak bisa lagi saya saksikan. Tapi setidaknya bukan
hanya saya yang mengenangnya. Kartolo dan kawan-kawannya juga punya sebuah
cerita berjudul ‘basman juragan gentong’….. dalam cerita lucu itu basman
diceritakan berkeliling menjajakan gentong
Sekarang fungsinya sudah digantikan oleh
gentong-gentong plastik yang sama sekali tidak berseni. Dan makin jarang kita
melihat gentong-gentong tanah ini dijajakan atau digunakan dalam kehidupan
sehari-hari.
Ada satu lagu macapat yang
berupa cangkriman –tebak-tebakan- yang jawabannya adalah klenthing. Klenthing
itu masih sesaudara dengan gentong. Hanya saja dia lebih kecil lebih ramping,
dan kegunaannya untuk dibawa-bawa ke ngangsu ke sendang. Karena jaman dulu air
belum dialirkan ke rumah-rumah dan mereka yang butuh air harus berolahraga dulu
berjalan ke sumber air. Lagunya begini :
bapak pucung cangkemmu marep mandhuwur
sabamu ing sendhang
pencokanmu lambung kering
prapteng wisma si pucung mutah guwaya
No comments:
Post a Comment