blog ini ditulis berdua, oleh nining dan nisa, setelah melihat begitu kompleksnya percakapan kami
Thursday, 6 June 2013
Jengkol
Pengetahuanku tentang jengkol (Archidendron
pauciflorum sinonim : A. jiringa, Pithecellobium jiringa, dan P. lobatum).bertambah.
Selama ini aku hanya tahu bahwa jengkol adalah salah satu jenis makanan yang
sangat berbau, seperti petai. Aku tidak memakannya karena prasangka buruk. Seperti
halnya aku tidak doyan makan petai dan daging kambing, meski tidak pernah
mencicipinya sehingga tidak tahu enak tidaknya, jauh-jauh aku sudah menganggap
makanan-makanan tersebut baunya tidak enak. maka aku menjauhinya.
Mak Ani sedang panen jengkol waktu aku berkunjung. Banyak sekali
jengkolnya, bertumpukan. dan menurut Mak Ani harganya mahal. sepuluh biji
harganya empat ribu (tapi ini harga di Bogor). Wah boleh juga kalau begitu
menanam jengkol untuk dijual....
Tapi Mak Ani tidak menjual jengkolnya ke tengkulak, seperti yang banyak
dilakukan oleh tetangga-tetangganya. Kebanyakan jengkol di sini dijual ijon,
seperti juga hasil panenan kebun lainnya. Mak Ani membiarkan jengkolnya tua dan
kemudian memanennya sendiri, lalu membawa jengkol-jengkol itu pulang. Di rumah
jengkolnya dikubur. Dulu Mei, temanku, suka sekali makan jengkol, tapi dia
paling suka jengkol yang sudah dikubur. Namanya sepi (tapi tidak bersinonim
dengan sunyi atau senyap). Kata Mei sepi berwarna hijau dan rasanya lebih enak.
aku tidak bisa membayangkan bagaimana
enaknya.
Kalau menurut Mak Ani tujuan mengubur jengkol itu bukan hanya untuk
menjadikannnya lebih enak. Yang lebih penting, kalau sudah dikubur tiga malam,
patinya akan keluar. Lalu jengkol itu akan aman dikonsumi, tidak bikin sakit
pinggang.
Sebagai tamunya, kami juga dimasakkan jengkol. disemur. Mak Ani dan Mak
Onah sibuk sekali mengolah semur jengkol. Nining membantu memarut kelapa.
sedang aku sibuk memotret mereka. menyenangkan sekali suasana waktu memasak
semur itu. Api menyala riang. kami bercerita macam-macam, bersahut-sahutan
dalam bahasa Jawa, sunda, dan indonesia. aku duduk di lantai kayu rumah
panggung, dengan kaki menjuntai ke tlundakan kayu yang besar sekali. sambil
menikmati hangatnya api. setelah matang, baunya enak, sepanci... sepanci semur
jengkol! untunglah ada banyak sayur lain, sehingga aku punya pilihan. meski
kalau misalnya tidak adapun aku tetap bisa makan nasi dengan garam, atau bikin
sambal saja.
Tapi ketika kami mau pulang, dibekali jengkol yang belum dikubur. "kalau sudah dibawa naik mobil sudah sama
dengan jengkol yang habis dikubur. tidak bikin sakit pinggang lagi" aku takjub, meski setengah tidak percaya...
Tapi yang jelas aku melihat bahwa punya pekarangan dan kebun yang isinya
bermacam-macam memang sangat bermanfaat. Mak Ani menjual sebagian jengkolnya,
dan ia dapat uang 36.000. besoknya ia menjual kacang panjang, dapat uang
lagi.... tidak banyak tapi bisa dipakai untuk membeli bahan-bahan makanan yang
tidak dihasilkan sendiri. dan ternyata petani masih bisa hidup subsisten, asal
punya tanah untuk digarap...
Ilir
Kalau naik kereta api
kadang juga bisa dijumpai kipas serupa dijual untuk mengurangi rasa gerah, yang
dijual di kereta untuk tujuan ini biasanya ukurannya lebih kecil dan bambunya
dicat warna-warni.
gentong
Sekarang fungsinya sudah digantikan oleh
gentong-gentong plastik yang sama sekali tidak berseni. Dan makin jarang kita
melihat gentong-gentong tanah ini dijajakan atau digunakan dalam kehidupan
sehari-hari.
Ada satu lagu macapat yang
berupa cangkriman –tebak-tebakan- yang jawabannya adalah klenthing. Klenthing
itu masih sesaudara dengan gentong. Hanya saja dia lebih kecil lebih ramping,
dan kegunaannya untuk dibawa-bawa ke ngangsu ke sendang. Karena jaman dulu air
belum dialirkan ke rumah-rumah dan mereka yang butuh air harus berolahraga dulu
berjalan ke sumber air. Lagunya begini :
bapak pucung cangkemmu marep mandhuwur
sabamu ing sendhang
pencokanmu lambung kering
prapteng wisma si pucung mutah guwaya
Subscribe to:
Posts (Atom)