Jum’at, 15 April 2016,
akhirnya berangkat juga ke Ranu Kumbolo. Obsesi sesungguhnya adalah Mahameru,
tapi setelah bercermin tahu diri juga, jadi target diturunkan menjadi Ranu
Kumbolo saja. Lagi pula persiapannya kurang, karena perginya mendadak. Inilah perjalanan
itu….
|
Ranu Regulo (Photo : MCU) |
Dari arah Senduro menuju ke Ranu Kumbolo kita harus menuju
Ranu Pani terlebih dahulu. Melewati Desa Burno, kemudian kita akan melalui
hutan produksi perhutani yang ditanami Damar. Jalannya menurut bapak yang
menjual bensin di toko tempat kami mampir mengisi bensin sebelum berangkat 50%.
Maksudnya 50% bagus dan sisanya rusak. Dalam bayanganku kalau pembagian 50-50
itu dibelah kiri dan kanan, maka tidak masalah. Tapi kalau dipotong jadi dua
depan dan belakang maka agak repot. Ternyata dari Burno jalannya mulus, masih
baru, lewat hutan Damar juga masih bagus, masuk kawasan Taman Nasional Bromo
Tengger Semeru juga masih bagus. Jadilah ada kesempatan untuk melihat kiri
kanan. Kangmas Pohon, Mbakyu Pohon, Bapak Pohon, Ibu Pohon, Kakek Pohon, Nenek
Pohon, Buyut Pohon Kakung dan Putri Berdiri di kiri kanan jalan.
Lengan-lengannya mengembang lebar karena ukuran mereka yang begitu besar. Di
tubuh mereka paku-pakuan, benalu, lumut, epifit, dan teman-temannya mondok.
Mungkin burung atau kera atau angin yang mencarikan mereka induk semang itu.
Tentunya mereka juga membiarkan hewan-hewan menumpang juga. Tak ada satupun
yang dapat kukenali dari motor yang melaju. Yang tertangkap hanya hijau yang
menyegarkan. Di bawah pohon-pohon itu semak dan terna lain tumbuh. Sepanjang
tepi jalan banyak sekali
Impatiens
chonoceras yang berbunga ungu. Selain itu yang banyak sekali terlihat
adalah pohon pisang, meski tidak ada yang berbuah. Dan meski ada papan
peringatan dan pemberitahuan yang mengatakan bahwa kawasan itu adalah tempat
hewan melintas sehingga kita manusia tidak boleh ribut-ribut, namun saya tidak
menjumpai mereka. Tidak kijang, tidak kera, ada burung tapi di udara….
Kenikmatan melihat-lihat itu akhirnya terputus setelah jalan
yang mulus itu berakhir. Selanjutnya adalah bekas jalan beraspal yang tinggal
batunya sehingga mirip sungai yang airnya mengering. Di beberapa titik masih
ada aspal yang tersisa, ada juga yang diganti dengan beton, namun putus-putus,
entah apa sebab dan maksudnya. Di penghujungnya bahkan ada kolam-kolam besar di
tengah jalan. Namun setelah melihat atap sebuah bangunan hilang semua sudah
kekhawatiran akan jatuh. Sampailah kami di Ranu Pani, yang bukan hanya nama
sebuah danau, namun juga nama desa itu sendiri. Salah satu desa tempat tinggal
keturunan Rara Anteng dan Jaka Seger. Yang pertama kami lihat adalah
lahan-lahan pertanian yang ditanami sayuran, dengan kemiringan tidak masuk
akal, seperti juga di daerah dekat Bromo. Jika melihat para petani itu bekerja
aku membayangkan mereka harus dilem kakinya di permukaan tanah, jika tidak
gravitasi akan menarik mereka sehingga mereka jatuh menggelinding ke bawah.
Atau mereka harus berpegangan pada tali… meski senyatanya tidak begitu. Pada
lereng-lereng yang tinggi pun ada tanamannya. Aku akan kehabisan nafas setelah
berjalan menuju ladang dan tidak kuat bekerja setelahnya jika aku punya ladang
di situ.
|
ladang sayuran (photo : nining) |
Daerah yang dingin ini sejak dulu telah terkenal sebagai
penghasil sayuran. Kentang, wortel, kubis, bawang putih, bawang daun, adalah
hasil yang utama dari petani-petani Tengger. Saat kami berkunjung yang nampak
paling banyak mengisi ladang-ladang miring itu adalah bawang daun, tidak banyak
nampak tanaman lain. Mungkin ada hubungannya dengan musim.
|
Desa Ranu Pani di seberang danau (photo : Nining) |
Dalam suasana mendung dan sedikit berkabut, tempat yang
sunyi itu terasa tidak nyata, rasanya seperti masuk ke dalam gambar kalender.
Ranu Pani berada pada ketinggian 2200 meter di atas permukaan laut. Suhu udara
sudah terasa dingin, namun masih dapat ditolerir. Tanpa mengenakan jaket pun
masih terasa nyaman. Saat kami sampai langit berawan, namun sinar matahari
masih dapat menerobos ke bumi. Desanya berada di seberang danau yang sayangnya
sudah kotor karena banyak sampah, dan nampaknya juga mengalami pendangkalan dan
penyempitan. Namun, mau tidak mau aku masih tetap tercengang melihat
pemandangan yang indah itu. Rumah-rumah nampak kecil-kecil di seberang danau,
dengan ladang-ladang sayuran di latar belakangnya, lalu perbukitan dengan
pepohonan membatasi tempat itu, memisahkannya dari dunia di luarnya.
Karena harus melaporkan diri jika mau naik maka kami mencari
pos taman nasional. Kami sudah siap dengan surat keterangan sehat, fotocopy
kartu identitas, juga materai untuk membuat surat pernyataan. Pos tersebut
terletak tidak jauh dari danau. Seorang gadis yang ternyata adalah relawan di
pos itu menemui kami, menjelaskan bahwa Ranu Kumbolo dan Mahameru ditutup! Ia
lalu memanggil petugas lain yang lebih senior, seorang laki-laki, yang kemudian
menjelaskan bahwa setiap tahunnya jalur pendakian ditutup selama tiga bulan,
antara bulan Januari hingga April, untuk pemulihan kawasan konservasi. Catat
noh…. Kemungkinan seminggu lagi sudah buka, selambat-lambatnya awal Mei. Patah
semangat. Akhirnya kami duduk-duduk di teras pos, melihat kiri kanan,
bertanya-tanya, membaca informasi yang ditempel-tempel, dan berfoto foto.
Mereka lalu menyarankan kami melihat-lihat Ranu Regulo yang terletak sekitar
300 meter dari Ranu Pani. Informasinya bisa juga berkemah di Ranu Regulo.
Apalagi Ranu Regulo jauh lebih bersih kondisinya jika dibanding Ranu Pani. Tapi
kalau harus menginap aku memilih tidur di pendopo TNBTS yang luas dan bersih.
Ada atapnya, hujan tidak akan mengganggu kami, toilet berjejer-jejer di dekat
situ. tinggal masuk ke sleeping bag saja. Di samping pendopo ada edelweiss,
sedang berbunga. Aku penasaran ingin tahu boleh tidak dipetik, teman-temanku
bilang tidak boleh, tapi menurutku boleh, ini kan hasil budidaya…
Akhirnya kami pergi mengunjungi toko souvenir di depan pos.
Bermacam-macam barang yang disediakan di situ. Perlengkapan hiking. Kaos yang
ada petanya, sepatu gunung, sleeping bag, jaket, kaos tangan, kalau kita
kelewatan membawa bisa membeli dulu. Stiker, gantungan kunci, dan pernik-pernik
kecil juga ada, untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Kami mengobrol dengan pemilik
toko. Sepasang suami istri yang asalnya dari Tumpang. Hanya satu toko itu yang
buka, karena memang sepi. Namun petugas taman nasional bilang tadi juga ada
rombongan yang bernasib seperti kami, semobil…
Sama dengan petugas taman nasional suami istri itu pun
menyarankan kami untuk mengunjungi Ranu Regulo. Mereka berbaik hati menawarkan
menitipkan barang bawaan di tokonya. Akhirnya kami pun berjalan turun tanpa
direpotkan oleh ransel berat, lewat di sisi kanan Ranu Pani menuju Ranu Regulo.
Ada jalan berpaving menuju ke Ranu Regulo. Di situ juga banyak bangunan,
kemungkinan pondok-pondok untuk pendaki. Namun semua tutup. Dari banner-banner
yang terpasang nampaknya banyak sekali kegiatan yang diadakan di tempat ini di
hari-hari ketika jalur pendakian tidak ditutup.
|
Iresine herbstii, crocosmia, dan oxeye daisy (photo : nisa) |
|
Verbena brasiliensis, calla lily, dan sejenis lobak (photo : nisa) |
Sepanjang jalan yang pendek itu banyak sekali
tumbuh-tumbuhan yang indah, yang jarang kami temui di tempat lain.
Berwarna-warni. Sebagian berbunga. Tersebar di tepi-tepi danau dan di kiri
kanan jalan, berbaur dengan semak-semak hijau yang segar. Seolah Tuhan sengaja
membuat taman di sini. Tapi Mini bilang yang bikin pasti asisten Nya… akhirnya
kami berdua tertinggal jauh di belakang karena sibuk melihat-lihat, mengamati,
memotret dan juga memanen, karena banyak sekali ciplukan di pinggir jalan. Bukan
jenis yang biasa ditemui sehari hari di ladang-ladang sekitar kami, yang ini
batangnya lebih tinggi dan nampak lebih kekar, daunnya berbulu, berwarna agak
keunguan, buahnya juga lebih besar. Sayangnya belum banyak yang matang. Di
antara tumbuhan yang kami temui ada crocosmia, yang bunganya berwarna jingga,
bersusun-susun dalam tangkai panjang yang ketika terayun karena angin nampak
sangat anggun. Lalu
Verbena brasiliensis,
yang berbunga ungu. Bukan flora lokal, namun tumbuhan ini telah menginvasi wilayah
sekitar Semeru sampai-sampai mengganggu tumbuhan setempat. Jadi meskipun warna
ungunya begitu indah namun tumbuhan ini meresahkan juga. Pesatnya pertumbuhan
Verbena brasiliensis dapat dilihat dari padang-padang di sekitar Semeru yang
berwarna ungu tertutup tumbuhan ini. Yang berbunga putih adalah sejenis aster,
oxeye daisy (
Crysanthemum leucanthemun).
Entah apa nama lokalnya. Yang bunganya kuning entah apa namanya, daunnya halus
berjari, mirip daun tomat. Lalu ada pula yang kurasa itu adalah nenek moyang
sawi yang kita makan sehari-hari. Di foto cuma nampak setengah bagian tumbuhan.
Daunnya lebih tebal dari sawi pada umumnya. Namun di situ tidak ada yang bisa
ditanyai apakah daunnya juga bisa dimasak. Sedang yang daunnya merah adalah
anggota famili bayam-bayaman,
Iresine
herbstii. Bukan jenis yang dapat dimakan. Namun, konon daunnya dapat
digunakan sebagai pewarna agar-agar. Di banyak tempat, utamanya yang berhawa
sejuk, saya sering menemukan tumbuhan ini, juga jenis yang berdaun hijau,
kuning, merah. Ditanam sebagai tanaman penghias taman. Hanya saja belum pernah
melihat yang tumbuh sesubur dan sesegar ini. Sedang yang bunganya putih seperti
anthurium adalah calla lily (
Zantedeschia
ethiopica), sesungguhnya ia juga masih sekeluarga dengan anthurium, sesama
araceae. Ada lagi yang banyak sekali tumbuh, bunganya kecil dan halus berwarna
ungu lembut (ada fotonya tapi tidak jelas). Berumbi putih keunguan, mirip lobak
umbinya. Itu semua adalah tumbuhan-tumbuhan berbunga
yang banyak sekali
terdapat di sana.
|
makaaan... (photo : MCU) |
Jalan menuju Ranu Regulo datar, kita bisa menikmati
perjalanan pendek itu tanpa terengah-engah. Ranu Regulo benar-benar lebih
bersih dari Ranu Pani, tapi menurutku tidak ada camping ground di situ, yang
ada adalah tanah berumput panjang yang tidak cocok untuk mendirikan tenda,
lagi-lagi itu menurutku. Ada semacam dermaga di tepi danau, meski tidak ada
perahunya, dari beton. Sepi, hanya ada sepasang muda-mudi berpacaran. Yang
begitu kami datang langsung pergi meninggalkan tempat, karena dunia tidak lagi
menjadi milik mereka berdua dengan adanya invasi kami. Akhirnya kamilah yang
menguasai tempat yang nyaman itu. Di dermaga itu kita bisa duduk-duduk dengan
nyaman sambil memandangi air danau di mana ikan-ikan kecil berenang di antara
rumput-rumput air, sambil mendengarkan desau angin menerobos dedaunan. Suaranya
keras sekali, gemerisik seperti hujan datang mendekat. Padahal itu suara angin.
Di sekeliling danau banyak sekali pohon-pohon cemara, indah sekali, dan tenang.
Jauh dari keriuhan dan bebas dari kebisingan. Sangat nyaman di situ. Kalau
Sapardi yang datang pastilah ia sudah menceritakan air danau, angin, langit
yang kelabu, pepohonan, dedaunan, bebungaan, kesunyian, dan ikan-ikan itu dalam
puisi-puisi yang indah. Sedang kami, rombongan pendaki amatir, gagal pula, yang
setengah kecewa ini hanya bisa ternganga-nganga melihat alam yang begitu luar
biasa itu. Akhirnya, kami merasa lapar, meski belum begitu lama jaraknya dengan
sarapan. Maka kami pun membuka bekal dan makan di situ. Begitulah kesudahan
kunjungan kami yang diawali dengan semangat 10 November arek-arek Surabaya…
Sampai jumpa Ranu Pani… suatu saat kami akan kembali, bukan
di bulan Januari – Mei, untuk sampai di Ranu Kumbolo seperti cita-cita yang
sudah lama kami pancangkan….
|
alhamdulillah... senyum kami masih manis meski gagal pergi ke Ranu Kumbolo |
jadi pengen kesana deh
ReplyDeletesurah at tin