Monday 29 August 2016

Ranu Pani dan Ranu regulo


Jum’at, 15 April 2016, akhirnya berangkat juga ke Ranu Kumbolo. Obsesi sesungguhnya adalah Mahameru, tapi setelah bercermin tahu diri juga, jadi target diturunkan menjadi Ranu Kumbolo saja. Lagi pula persiapannya kurang, karena perginya mendadak. Inilah perjalanan itu….

Ranu Regulo (Photo : MCU)
Dari arah Senduro menuju ke Ranu Kumbolo kita harus menuju Ranu Pani terlebih dahulu. Melewati Desa Burno, kemudian kita akan melalui hutan produksi perhutani yang ditanami Damar. Jalannya menurut bapak yang menjual bensin di toko tempat kami mampir mengisi bensin sebelum berangkat 50%. Maksudnya 50% bagus dan sisanya rusak. Dalam bayanganku kalau pembagian 50-50 itu dibelah kiri dan kanan, maka tidak masalah. Tapi kalau dipotong jadi dua depan dan belakang maka agak repot. Ternyata dari Burno jalannya mulus, masih baru, lewat hutan Damar juga masih bagus, masuk kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru juga masih bagus. Jadilah ada kesempatan untuk melihat kiri kanan. Kangmas Pohon, Mbakyu Pohon, Bapak Pohon, Ibu Pohon, Kakek Pohon, Nenek Pohon, Buyut Pohon Kakung dan Putri Berdiri di kiri kanan jalan. Lengan-lengannya mengembang lebar karena ukuran mereka yang begitu besar. Di tubuh mereka paku-pakuan, benalu, lumut, epifit, dan teman-temannya mondok. Mungkin burung atau kera atau angin yang mencarikan mereka induk semang itu. Tentunya mereka juga membiarkan hewan-hewan menumpang juga. Tak ada satupun yang dapat kukenali dari motor yang melaju. Yang tertangkap hanya hijau yang menyegarkan. Di bawah pohon-pohon itu semak dan terna lain tumbuh. Sepanjang tepi jalan banyak sekali Impatiens chonoceras yang berbunga ungu. Selain itu yang banyak sekali terlihat adalah pohon pisang, meski tidak ada yang berbuah. Dan meski ada papan peringatan dan pemberitahuan yang mengatakan bahwa kawasan itu adalah tempat hewan melintas sehingga kita manusia tidak boleh ribut-ribut, namun saya tidak menjumpai mereka. Tidak kijang, tidak kera, ada burung tapi di udara….

Kenikmatan melihat-lihat itu akhirnya terputus setelah jalan yang mulus itu berakhir. Selanjutnya adalah bekas jalan beraspal yang tinggal batunya sehingga mirip sungai yang airnya mengering. Di beberapa titik masih ada aspal yang tersisa, ada juga yang diganti dengan beton, namun putus-putus, entah apa sebab dan maksudnya. Di penghujungnya bahkan ada kolam-kolam besar di tengah jalan. Namun setelah melihat atap sebuah bangunan hilang semua sudah kekhawatiran akan jatuh. Sampailah kami di Ranu Pani, yang bukan hanya nama sebuah danau, namun juga nama desa itu sendiri. Salah satu desa tempat tinggal keturunan Rara Anteng dan Jaka Seger. Yang pertama kami lihat adalah lahan-lahan pertanian yang ditanami sayuran, dengan kemiringan tidak masuk akal, seperti juga di daerah dekat Bromo. Jika melihat para petani itu bekerja aku membayangkan mereka harus dilem kakinya di permukaan tanah, jika tidak gravitasi akan menarik mereka sehingga mereka jatuh menggelinding ke bawah. Atau mereka harus berpegangan pada tali… meski senyatanya tidak begitu. Pada lereng-lereng yang tinggi pun ada tanamannya. Aku akan kehabisan nafas setelah berjalan menuju ladang dan tidak kuat bekerja setelahnya jika aku punya ladang di situ.

ladang sayuran (photo : nining)
Daerah yang dingin ini sejak dulu telah terkenal sebagai penghasil sayuran. Kentang, wortel, kubis, bawang putih, bawang daun, adalah hasil yang utama dari petani-petani Tengger. Saat kami berkunjung yang nampak paling banyak mengisi ladang-ladang miring itu adalah bawang daun, tidak banyak nampak tanaman lain. Mungkin ada hubungannya dengan musim.

Desa Ranu Pani di seberang danau (photo : Nining)
Dalam suasana mendung dan sedikit berkabut, tempat yang sunyi itu terasa tidak nyata, rasanya seperti masuk ke dalam gambar kalender. Ranu Pani berada pada ketinggian 2200 meter di atas permukaan laut. Suhu udara sudah terasa dingin, namun masih dapat ditolerir. Tanpa mengenakan jaket pun masih terasa nyaman. Saat kami sampai langit berawan, namun sinar matahari masih dapat menerobos ke bumi. Desanya berada di seberang danau yang sayangnya sudah kotor karena banyak sampah, dan nampaknya juga mengalami pendangkalan dan penyempitan. Namun, mau tidak mau aku masih tetap tercengang melihat pemandangan yang indah itu. Rumah-rumah nampak kecil-kecil di seberang danau, dengan ladang-ladang sayuran di latar belakangnya, lalu perbukitan dengan pepohonan membatasi tempat itu, memisahkannya dari dunia di luarnya.


Karena harus melaporkan diri jika mau naik maka kami mencari pos taman nasional. Kami sudah siap dengan surat keterangan sehat, fotocopy kartu identitas, juga materai untuk membuat surat pernyataan. Pos tersebut terletak tidak jauh dari danau. Seorang gadis yang ternyata adalah relawan di pos itu menemui kami, menjelaskan bahwa Ranu Kumbolo dan Mahameru ditutup! Ia lalu memanggil petugas lain yang lebih senior, seorang laki-laki, yang kemudian menjelaskan bahwa setiap tahunnya jalur pendakian ditutup selama tiga bulan, antara bulan Januari hingga April, untuk pemulihan kawasan konservasi. Catat noh…. Kemungkinan seminggu lagi sudah buka, selambat-lambatnya awal Mei. Patah semangat. Akhirnya kami duduk-duduk di teras pos, melihat kiri kanan, bertanya-tanya, membaca informasi yang ditempel-tempel, dan berfoto foto. Mereka lalu menyarankan kami melihat-lihat Ranu Regulo yang terletak sekitar 300 meter dari Ranu Pani. Informasinya bisa juga berkemah di Ranu Regulo. Apalagi Ranu Regulo jauh lebih bersih kondisinya jika dibanding Ranu Pani. Tapi kalau harus menginap aku memilih tidur di pendopo TNBTS yang luas dan bersih. Ada atapnya, hujan tidak akan mengganggu kami, toilet berjejer-jejer di dekat situ. tinggal masuk ke sleeping bag saja. Di samping pendopo ada edelweiss, sedang berbunga. Aku penasaran ingin tahu boleh tidak dipetik, teman-temanku bilang tidak boleh, tapi menurutku boleh, ini kan hasil budidaya…

Akhirnya kami pergi mengunjungi toko souvenir di depan pos. Bermacam-macam barang yang disediakan di situ. Perlengkapan hiking. Kaos yang ada petanya, sepatu gunung, sleeping bag, jaket, kaos tangan, kalau kita kelewatan membawa bisa membeli dulu. Stiker, gantungan kunci, dan pernik-pernik kecil juga ada, untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Kami mengobrol dengan pemilik toko. Sepasang suami istri yang asalnya dari Tumpang. Hanya satu toko itu yang buka, karena memang sepi. Namun petugas taman nasional bilang tadi juga ada rombongan yang bernasib seperti kami, semobil…

Sama dengan petugas taman nasional suami istri itu pun menyarankan kami untuk mengunjungi Ranu Regulo. Mereka berbaik hati menawarkan menitipkan barang bawaan di tokonya. Akhirnya kami pun berjalan turun tanpa direpotkan oleh ransel berat, lewat di sisi kanan Ranu Pani menuju Ranu Regulo. Ada jalan berpaving menuju ke Ranu Regulo. Di situ juga banyak bangunan, kemungkinan pondok-pondok untuk pendaki. Namun semua tutup. Dari banner-banner yang terpasang nampaknya banyak sekali kegiatan yang diadakan di tempat ini di hari-hari ketika jalur pendakian tidak ditutup.

Iresine herbstii, crocosmia, dan oxeye daisy (photo : nisa)
Verbena brasiliensis, calla lily, dan sejenis lobak (photo : nisa)
Sepanjang jalan yang pendek itu banyak sekali tumbuh-tumbuhan yang indah, yang jarang kami temui di tempat lain. Berwarna-warni. Sebagian berbunga. Tersebar di tepi-tepi danau dan di kiri kanan jalan, berbaur dengan semak-semak hijau yang segar. Seolah Tuhan sengaja membuat taman di sini. Tapi Mini bilang yang bikin pasti asisten Nya… akhirnya kami berdua tertinggal jauh di belakang karena sibuk melihat-lihat, mengamati, memotret dan juga memanen, karena banyak sekali ciplukan di pinggir jalan. Bukan jenis yang biasa ditemui sehari hari di ladang-ladang sekitar kami, yang ini batangnya lebih tinggi dan nampak lebih kekar, daunnya berbulu, berwarna agak keunguan, buahnya juga lebih besar. Sayangnya belum banyak yang matang. Di antara tumbuhan yang kami temui ada crocosmia, yang bunganya berwarna jingga, bersusun-susun dalam tangkai panjang yang ketika terayun karena angin nampak sangat anggun. Lalu Verbena brasiliensis, yang berbunga ungu. Bukan flora lokal, namun tumbuhan ini telah menginvasi wilayah sekitar Semeru sampai-sampai mengganggu tumbuhan setempat. Jadi meskipun warna ungunya begitu indah namun tumbuhan ini meresahkan juga. Pesatnya pertumbuhan Verbena brasiliensis dapat dilihat dari padang-padang di sekitar Semeru yang berwarna ungu tertutup tumbuhan ini. Yang berbunga putih adalah sejenis aster, oxeye daisy (Crysanthemum leucanthemun). Entah apa nama lokalnya. Yang bunganya kuning entah apa namanya, daunnya halus berjari, mirip daun tomat. Lalu ada pula yang kurasa itu adalah nenek moyang sawi yang kita makan sehari-hari. Di foto cuma nampak setengah bagian tumbuhan. Daunnya lebih tebal dari sawi pada umumnya. Namun di situ tidak ada yang bisa ditanyai apakah daunnya juga bisa dimasak. Sedang yang daunnya merah adalah anggota famili bayam-bayaman, Iresine herbstii. Bukan jenis yang dapat dimakan. Namun, konon daunnya dapat digunakan sebagai pewarna agar-agar. Di banyak tempat, utamanya yang berhawa sejuk, saya sering menemukan tumbuhan ini, juga jenis yang berdaun hijau, kuning, merah. Ditanam sebagai tanaman penghias taman. Hanya saja belum pernah melihat yang tumbuh sesubur dan sesegar ini. Sedang yang bunganya putih seperti anthurium adalah calla lily (Zantedeschia ethiopica), sesungguhnya ia juga masih sekeluarga dengan anthurium, sesama araceae. Ada lagi yang banyak sekali tumbuh, bunganya kecil dan halus berwarna ungu lembut (ada fotonya tapi tidak jelas). Berumbi putih keunguan, mirip lobak umbinya. Itu semua adalah tumbuhan-tumbuhan berbunga
yang banyak sekali terdapat di sana.

makaaan... (photo : MCU)
Jalan menuju Ranu Regulo datar, kita bisa menikmati perjalanan pendek itu tanpa terengah-engah. Ranu Regulo benar-benar lebih bersih dari Ranu Pani, tapi menurutku tidak ada camping ground di situ, yang ada adalah tanah berumput panjang yang tidak cocok untuk mendirikan tenda, lagi-lagi itu menurutku. Ada semacam dermaga di tepi danau, meski tidak ada perahunya, dari beton. Sepi, hanya ada sepasang muda-mudi berpacaran. Yang begitu kami datang langsung pergi meninggalkan tempat, karena dunia tidak lagi menjadi milik mereka berdua dengan adanya invasi kami. Akhirnya kamilah yang menguasai tempat yang nyaman itu. Di dermaga itu kita bisa duduk-duduk dengan nyaman sambil memandangi air danau di mana ikan-ikan kecil berenang di antara rumput-rumput air, sambil mendengarkan desau angin menerobos dedaunan. Suaranya keras sekali, gemerisik seperti hujan datang mendekat. Padahal itu suara angin. Di sekeliling danau banyak sekali pohon-pohon cemara, indah sekali, dan tenang. Jauh dari keriuhan dan bebas dari kebisingan. Sangat nyaman di situ. Kalau Sapardi yang datang pastilah ia sudah menceritakan air danau, angin, langit yang kelabu, pepohonan, dedaunan, bebungaan, kesunyian, dan ikan-ikan itu dalam puisi-puisi yang indah. Sedang kami, rombongan pendaki amatir, gagal pula, yang setengah kecewa ini hanya bisa ternganga-nganga melihat alam yang begitu luar biasa itu. Akhirnya, kami merasa lapar, meski belum begitu lama jaraknya dengan sarapan. Maka kami pun membuka bekal dan makan di situ. Begitulah kesudahan kunjungan kami yang diawali dengan semangat 10 November arek-arek Surabaya…
Sampai jumpa Ranu Pani… suatu saat kami akan kembali, bukan di bulan Januari – Mei, untuk sampai di Ranu Kumbolo seperti cita-cita yang sudah lama kami pancangkan….
alhamdulillah... senyum kami masih manis
 meski gagal pergi ke Ranu Kumbolo




Saturday 27 August 2016

THE QUEST FOR THE BEST BANANA BREAD RECIPE


Terhitung semenjak bulan puasa tahun ini, saya terjangkit penyakit baru, jika itu bisa disebut penyakit. Yang saya maksud adalah keranjingan membuat kue. Ini baru. Karena meski saya bisa memasak tanpa pernah berupaya belajar, saya selalu merasa tahu bahwa saya tidak bisa dan akan selalu gagal membuat kue, apapun, bahkan jenis yang paling umum seperti pisang goreng.

Tetapi, menyadari bahwa tukang kue tempat saya memesan kue lebaran tahun lalu sudah pindah dan saya tidak bisa menyandarkan harapan saya padanya, maka saya pun memikirkan kue apa kira-kira yang paling mudah dibuat. Mengingat saya juga tidak tega membiarkan meja ruang tamu kosong tanpa kue saat lebaran. Meski saya juga tidak sungguh-sungguh berniat membuat banyak kue, hanya sekedar agar pantas saja. Dan lagi, begitu membuat iri setiap ada teman memposting foto kue hasil karyanya…

Pilihan jatuh pada kastengel. Tidak perlu mencetak satu per satu, jadi pasti cepat dan tidak ruwet. Akhirnya setelah browsing resep-resep, yang jumlahnya ternyata ratusan untuk satu jenis kue saja, saya pun memilih satu. Itu pun masih diotak-atik agar sesuai dengan budget, peralatan, ketersediaan bahan, dan kemampuan saya. Ajaib… kuenya jadi! Benar-benar seperti kastengel yang saya bayangkan. Maka saya pun punya dua toples kastengel nan lezat.

Kepercayaan diri pun akhirnya meningkat. Setelah lebaran, ada banyak sekali pisang matang, yang tidak segera termakan. Maka terpikirlah untuk menjadikannya bolu pisang. Mengulang cara yang sama, browing resep dulu di internet. Dan menemukan ratusan resep bolu pisang. Ada yang dikukus, ada yang dipanggang. Dicetak kecil-kecil maupun di dipanggang di loyang besar. Ada yang kotak ada yang bundar. Ada yang pakai tepung terigu ada juga yang pakai tepung beras. Ada yang menyarankan memakai butter, ada yang menyarankan pakai margarine, (banyak yang dengan vulgar menyebut merk juga…), ada juga yang pakai minyak goreng. Ada yang pakai pengembang kue ada yang tidak. Bingung juga memilihnya. Akhirnya memilih satu resep yang tidak pakai telur dan tidak pakai terigu. Mengingat gandum itu barang impor yang sangat mempengaruhi neraca dagang negara. Hasilnya… jadi kue, tapi keras, dan terlalu manis. Makan sepotong kecil saja sudah mblenger… karena manisnya.

Tidak puas dan jadi penasaran. Besoknya bikin lagi. Gulanya dikurangi. Jadinya lebih bisa diterima lidah. Tapi tetap keras. Padahal di resepnya dikatakan hasilnya moist. Mungkin harusnya dikukus seperti membuat apem. Percobaan ketiga dilakukan setelah mencari lagi dengan lebih teliti. Mampirlah saya di sebuah blog yang sangat meyakinkan. Ada penjelasannya mengapa dan bagaimana sesuatu harus dilakukan. Misalnya adonan tidak boleh dipegang tangan, karena panasnya tangan akan berpengaruh pada adonan, misalnya lagi bagaimana arah mengaduk yang benar. Ada juga foto-fotonya step by step. Saya pun dengan sangat bersemangat mengikutinya, meski tidak pakai bahan yang sama persis. Karena bahan yang disebutkan di resep itu tidak dapat ditemukan di toko maupun pasar dekat rumah. Hanya pisangnya saja yang berlimpah. Yang ini pakai terigu, mengabaikan soal neraca dagang negara dan kedaulatan pangan. Setelah mengikuti langkah demi langkah dengan sangat teliti akhirnya kue pun matang. Ooooh… mengecewakan hasilnya. Bisa sih dimakan, tapi penampilannya sungguh mengenaskan. Sedangkan di blog itu ditunjukkan kue yang mengembang dan berongga-rongga serupa rumah semut, punya saya padat dan bantat. Juga tidak terasa benar kalau itu ada pisangnya.

Semua resep hanya menggunakan tiga atau empat pisang, jadi persediaan pisang pun lambat habisnya. Pada saat itulah saya melihat di food making GIF di Google+, cara membuat kue pisang yang nampaknya sangat mudah. Tidak pakai menimbang-nimbang bahan-bahan, pakai cangkir saja menakarnya, tidak perlu dimixer sampai benar-benar putih dan mengembang. Dengan keputusan bahwa ini adalah percobaan terakhir, kalau gagal saya akan berhenti. Dibandingkan tiga percobaan sebelumnya yang keempat ini dilakukan carelessly. Setelah diaduk semua, dimasukkan loyang, lalu dioven. Ketika sudah lewat setengah jam, karena penasaran, mencoba mengintip. Aaah... nampaknya mengembang. Waktu kue matang rasanya hati senang. Berbeda dengan yang sebelumnya yang ini lebih mirip kue di buku-buku resep. Mengembang, lembut, tidak bantat, meski agak gosong, karena tidak yakin kalau sudah matang, jadi tidak segera diangkat. Indikator keberhasilan lainnya adalah : dalam waktu relatif singkat kuenya habis!

Hanya saja, setelah semua percobaan itu, saya masih terus penasaran dan tidak berhenti mencari-cari resep yang lebih mudah. Kemudian saya mulai mengganti kata kunci pencarian dari bolu pisang atau cake pisang menjadi banana bread recipes. Ternyata banyak yang lebih sederhana. Beberapa telah saya simpan, cuma belum dicoba, menunggu pisang di kebun matang terlebih dahulu.
Lalu ketika tidak punya pisang saya beralih membuat pumpkin bread, ketika itulah tiba-tiba mixer rusak, akhirnya saya pun kembali pada pengocok telur model lama. Yang membuat saya tidak bisa mengocok telur sampai mengembang betul. Karena capek juga. Jadi ketika punya pisang matang lagi, saya mengulang percobaan membuat banana bread. Asal kocok saja, pisangnya juga belum kematangan. Akibatnya tidak bisa hancur benar. Hasilnya, kue yang teksturnya kasar…

Besoknya mencoba lagi. kali ini berusaha lebih telaten mengocok telurnya, sampai warnanya putih. Pisangnya pun lebih halus. Waktu hampir matang, aduuuh baunya… harum sekali! Memenuhi dapur. Kali ini saya pakai loyang yang lebih kecil, jadinya kuenya nampak lebih tinggi. Yang kali ini bukan hanya harumnya yang menggoda, tapi juga teksturnya lebih lembut. Berongga-rongga seperti umumnya cake. Rasanya? Enak sekali….

Setiap percobaan ada fotonya, tapi tidak sampai hati saya untuk memuatnya di sini, kecuali yang satu ini. Karena hanya akan membangkitkan kenangan yang bisa merusak semangat dan memberatkan hari-hari yang akan datang saja J dan lagi repot kan upload terlalu banyak foto? Yang ini hasil percobaan terakhir. Tidak sabar menunggu dingin sudah keburu dipotong, ditambah pisaunya kurang tajam. Jadinya hancur begitu.

Terlepas dari penampilannya yang kurang appealing, inilah resep yang sekarang saya yakini paling baik, maksudnya yang kalau saya bikin pasti berhasil…

Resep cake pisang
Bahannya :
-        3 buah pisang masak (setelah saya coba, pisang apa saja enak, asal masak)
-        2 cangkir tepung terigu
-        2 butir telur
-        1 kuning telur
-        ¾ cangkir mentega dicairkan
-        ¾ gula pasir
-        3 sdm susu coklat kental manis
-        ½ sdt Soda kue
-        ½ sdt Kayu manis bubuk
-        Garam (optional)

Caranya :
1.  Siapkan loyang, olesi dengan mentega, taburi tepung
2.  Panaskan oven (saya tidak bisa menjelaskan berapa suhunya, saya cuma pakai panci serbaguna, dipanggang di atas kompor dengan api sedang sekitar 45 menit)
3.  Pisang dihancurkan sampai halus, tambahkan susu coklat dan mentega cair, sisihkan.
4.  Kocok telur dan gula sampai mengembang
5.  Tambahkan tepung, soda, kayu manis, dan garam ke dalam kocokan telur. Aduk rata.
6.  Aduk dengan pisang hingga rata.
7.  Masukkan ke dalam Loyang. Panggang sampai matang

Nah, tidak jujur kalau cuma menunjukkan hasil uji coba sendiri seolah-olah itu hasil kerja saya sendiri. Ini contekannya htttps://plus.google.com/+YahiyaMv/posts/6yFSEtNV7PM
Tidak persis benar, karena punya saya sudah melalui berbagai penyesuaian.

Agustus, 2016