Ungkapan 'dunia tak
seluas daun kelor, membuat hampir semua
orang pernah mendengar daun kelor, meski
tidak berarti bahwa kemudian mereka tahu seperti apa bentuknya. Dulu saya kira
daun kelor itu kecil sekali, sampai-sampai dibuat sebagai perumpamaan mengenai
luasnya dunia. Begitu saya mengetahui sebesar apa daunnya, jadi terpikir kenapa
daun kelor yang dipakai sebagai
perumpamaan, kenapa tidak 'dunia tak selebar daun meniran' atau dunia
tak selebar daun putri malu'. Kedua daun itu ukurannya lebih kecil dari daun
kelor…
Hal kedua yang
melekat padanya adalah daun kelor
berfungsi untuk merontokkan jimat, susuk, dan sebagainya. Kalau ada
orang yang mendekati ajal namun susah sekali matinya, katanya itu karena di tubuh mereka masih ada
jimat atau susuk atau punya ilmu -sipat kandel- yang belum dilepas. sehingga raganya tidak mau kalah, meski harusnya sudah mati tapi raganya masih tetap berkeras untuk survive. Untuk merontokkan semua
itu dipakailah daun kelor. Saya sendiri belum pernah melihat bagaimana caranya,
apakah air rebusannya diminumkan, atau apakah daun-daunnya dipukul-pukulkan
pada bagian yang mengandung jimat -terus terang adegan ini yang selalu saya
bayangkan berhubungan dengan ritual merontokkan jimat ini- atau daunnya
ditumbuk lalu dioleskan di bagian tubuh yang berjimat itu.
Masuk dalam suku moringaceae, kelor berupa pohon yang tingginya dapat mencapai 11 meter, kulit kayunya berwarna putih keabuan. Kalau dia pendek menyerupai semak, besar kemungkinannya karena pemiliknya terlalu rajin memangkasnya untuk dijadikan bahan sayur. Daunnya berbentuk bulat telur, tersusun majemuk dalam satu tangkai. Kalau susah membayangkan dari deskripsi ini maka kukatakan saja bahwa bentuk dan susunan daun kelor itu mirip dengan daun lamtoro (Leucaena leucocephala), daun sengon (Albizia falcataria), daun kaliandra (Calliandra calothyrsus), atau daun petai (Parkia speciosa). Beda warna, ukuran, dan bentuknya saja. Bunganya berwarna putih kekuningan, namanya dalam bahasa Jawa limaran. Ada motif kain batik limaran, mungkin terinspirasi oleh bunga-bunga kelor ini. Nama istri Panji ketika menyamar saat mencari-cari suaminya (kenapa suaminya suka menghilang-hilang ya?) juga Dewi Limaran. Jadi sebenarnya meski kelor diyakini berasal dari daerah di sekitar Himalaya, sebenarnya tanaman ini juga sudah sangat akrab dengan masyarakat Jawa.
Di berbagai daerah
pedesaan, daun kelor sangat umum dijadikan sayur, juga buahnya yang panjang, yang di jawa disebut klenthang.
Biasanya disayur bening atau disayur asam dengan tambahan cabe rawit, sehingga
rasanya asam-asam pedas, sangat segar di kala panas kemarau. Dibumbui bawang merah, cabe merah, cabe rawit, kemiri, terasi, daun salam, lengkuas, asam jawa, dan garam. Jangan pula meremehkan
daun kelor, meski murah dan mudah didapat di pagar tetangga, namun kelor
mengandung vitamin A dan vitamin C yang cukup tinggi. Pengobatan ayurvedic
menyebutkan jika kita memiliki kelor di halaman
rumah kita memiliki obat untuk segala macam penyakit. Kelor juga bermanfaat
untuk menyembuhkan panas dalam,
sariawan, rambut rontok dan berketombe. Di tempat asalnya tumbuhan ini juga dimanfaatkan sebagai pangan dan obat dan banyak dibudidayakan, juga dalam skala besar dalam era ini. Karena manfaatnya yang luar biasa juga sudah diteliti dengan cara-cara ilmiah, tak mengherankan jika kelor juga sudah masuk dalam industri untuk dijadikan salah satu barang jualan berharga. Ada bermacam kapsul berbahan kelor yang menawarkan kesembuhan dan kebugaran bagi mereka yang berpenyakit, lemah lesu, dan terobsesi kepada kesehatan. kelor juga dimanfaatkan dalam industri kosmetik.
Kelor adalah nama yang dipakai di masyarakat Jawa. Nama latin yang paling sering dijumpai adalah Moringa oleifera, oleifera artinya oily, mengandung minyak, ada juga sinonimnya, Guillandina moringa L, dan Hyperanthera moringa L. Nama latin ini justru terdengar lebih mirip dengan nama melayunya, merunggai, dan juga nama maduranya, meronggih. Konon nama moringa berasal dari nama Tamilnya, murungai. Mengingat bahwa di oindia dan sekitarnya kelor termasuk tumbuhan yang sangat banyak digunakan, maka kemungkinan para pendatang dari Tamil, India, dan sebagainya yang kemudian mengilhami nama merunggai dan meronggih ini. kalau orang Jawa menyebutnya kelor, entah itu dari mana asalnya....