Perkenalkan, bobo, dia adalah nama olahan rebung, bukan nama
majalah anak-anak. Seperti yang sudah
kita tahu, rebung merupakan salah satu jenis makanan dari tumbuhan. Tunas bambu
ini yang ketika tuanya bisa kita gunakan untuk bahan bangunan, begitu lembut dan enak disayur. Di berbagai
tempat rebung diolah menjadi macam-macam makanan. Dari yang hanya berbentuk
sayur lodeh saja sampai yang dijadikan isi lumpia untuk kudapan teman minum
teh. Dan karena rebung adalah makanan musiman, orang-orang kemudian menemukan
cara untuk tetap bisa memakan rebung meski sedang musim kemarau. Bukan
dikalengkan. Kalau dikalengkan itu adalah teknologi jaman ini. Di mana sampai
bibit bayi pun dikalengkan.
Ada dua macam olahan yang saya tahu. Yang kering dan yang
basah. Olahan rebung kering bisa disimpan lama. Cara mengeringkannya pun
relatif mudah. Ada dua cara yang saya tahu. Dua-duanya harus melalui proses
perajangan dulu. Rebung diiris tipis-tipis sebelum dikeringkan. Ada yang
mengeringkannya menggunakan panas matahari hingga potongan-potongan ini kering
benar sehingga aman untuk disimpan lama. Namun di beberapa tempat yang curah
hujannya sangat tinggi, ini hal sulit. Apalagi rebung tumbuh di musim hujan,
jadi alih-alih menggantungkan sinar matahari, mereka menggunakan cara yang
lebih mudah diintervensi. Memanggangnya di atas api. Caranya : potongan rebung
ditusuk dengan bambu (seperti sate, tapi tusuknya lebih panjang) lalu di taruh
di atas tungku kayu tempat memasak (agak tinggi jadi tidak terbakar dan tidak
mengganggu proses memasak, tepatnya diasapi). Karena terpanggang tiap hari
rebung akan mengering. Tetapi cara kedua ini hasilnya hitam dan sedikit
beraroma sangit. Untuk memasaknya keduanya harus direbus dulu agar empuk lagi.
airnya dibuang (terutama untuk yang dipanggang, proses ini sekaligus untuk
menghilangkan jelaganya) baru dibumbui.
Tapi bukan rebung dikeringkan itu sebenarnya yang ingin saya
ceritakan. Pengolahan semacam itu mudah ditemukan di banyak desa. Di desa saya
ada cara lain mengolah rebung. Yang satu ini hampir tidak saya temukan di
daerah lain. Nah begini caranya… (ini cara yang orisinil, yang biasa dilakukan
oleh simbah-simbah jaman dulu)
Rebung segar diambil pangkalnya (bukan bagian yang
berlapis-lapis dan berongga). Lalu dicuci bersih. Setelah itu diiris
tipis-tipis. Siapkan wadah untuk menyimpannya. Biasanya digunakan tumbu (wadah
bambu yang biasa digunakan untuk tempat nasi, tetapi yang paling ideal adalah
wadah yang berkaki) letakkan daun pisang melingkar di tepi bagian dalamnya tapi
di bagian bawah jangan dialasi. Lalu masukkan irisan rebung ke dalamnya.
Setelah selesai tutup rapat bagian atasnya dengan daun. Di atasnya letakkan
pemberat,bisa menggunakan batu atau ulekan,
yang terpenting tujuannya tercapai. tujuan memberi pemberat itu adalah
untuk memeras agar air dari rebung itu keluar. Setelah sekitar 2 hari cobalah
lihat apakah airnya sudah banyak yang keluar. Jika sudah biasanya rebung akan
menjadi lebih lemas, tidak renyah lagi. saat itu rebung dibongkar lalu dijemur
di panas matahari hingga terasa hangat. Kalau sudah hangat dibungkus daun lagi.
kembali pada proses seperti sebelumnya. Begitu diulang hingga rebung menjadi
lunak berwarna kecoklatan dan berbau sedap. Jika dilakukan dengan benar, rebung
tidak akan membusuk atau berulat. Inilah yang disebut bobo.
Bobo tidak bisa langsung dimakan. Harus dimasak dulu. Ada
dua cara masak yang saya sukai. Yang pertama digoreng dengan tepung dan
dibumbui. Jaman dulu simbah-simbah menggunakan tepung jagung untuk menggoreng.
Sekarang saya pakai tepung apa saja yang saya temukan di dapur. Bumbunya tidak
saya bocorkan, silahkan berimajinasi sendiri. Yang kedua dimasak dengan santan,
bumbunya antara lain ketumbar dan daun jeruk. Bumbu lainnya? Rahasiaaa….