Sunday, 13 May 2012

Bagaimana Mengolah Rebung


Perkenalkan, bobo, dia adalah nama olahan rebung, bukan nama majalah anak-anak.  Seperti yang sudah kita tahu, rebung merupakan salah satu jenis makanan dari tumbuhan. Tunas bambu ini yang ketika tuanya bisa kita gunakan untuk bahan bangunan,  begitu lembut dan enak disayur. Di berbagai tempat rebung diolah menjadi macam-macam makanan. Dari yang hanya berbentuk sayur lodeh saja sampai yang dijadikan isi lumpia untuk kudapan teman minum teh. Dan karena rebung adalah makanan musiman, orang-orang kemudian menemukan cara untuk tetap bisa memakan rebung meski sedang musim kemarau. Bukan dikalengkan. Kalau dikalengkan itu adalah teknologi jaman ini. Di mana sampai bibit bayi pun dikalengkan.

Ada dua macam olahan yang saya tahu. Yang kering dan yang basah. Olahan rebung kering bisa disimpan lama. Cara mengeringkannya pun relatif mudah. Ada dua cara yang saya tahu. Dua-duanya harus melalui proses perajangan dulu. Rebung diiris tipis-tipis sebelum dikeringkan. Ada yang mengeringkannya menggunakan panas matahari hingga potongan-potongan ini kering benar sehingga aman untuk disimpan lama. Namun di beberapa tempat yang curah hujannya sangat tinggi, ini hal sulit. Apalagi rebung tumbuh di musim hujan, jadi alih-alih menggantungkan sinar matahari, mereka menggunakan cara yang lebih mudah diintervensi. Memanggangnya di atas api. Caranya : potongan rebung ditusuk dengan bambu (seperti sate, tapi tusuknya lebih panjang) lalu di taruh di atas tungku kayu tempat memasak (agak tinggi jadi tidak terbakar dan tidak mengganggu proses memasak, tepatnya diasapi). Karena terpanggang tiap hari rebung akan mengering. Tetapi cara kedua ini hasilnya hitam dan sedikit beraroma sangit. Untuk memasaknya keduanya harus direbus dulu agar empuk lagi. airnya dibuang (terutama untuk yang dipanggang, proses ini sekaligus untuk menghilangkan jelaganya) baru dibumbui.

Tapi bukan rebung dikeringkan itu sebenarnya yang ingin saya ceritakan. Pengolahan semacam itu mudah ditemukan di banyak desa. Di desa saya ada cara lain mengolah rebung. Yang satu ini hampir tidak saya temukan di daerah lain. Nah begini caranya… (ini cara yang orisinil, yang biasa dilakukan oleh simbah-simbah jaman dulu)

Rebung segar diambil pangkalnya (bukan bagian yang berlapis-lapis dan berongga). Lalu dicuci bersih. Setelah itu diiris tipis-tipis. Siapkan wadah untuk menyimpannya. Biasanya digunakan tumbu (wadah bambu yang biasa digunakan untuk tempat nasi, tetapi yang paling ideal adalah wadah yang berkaki) letakkan daun pisang melingkar di tepi bagian dalamnya tapi di bagian bawah jangan dialasi. Lalu masukkan irisan rebung ke dalamnya. Setelah selesai tutup rapat bagian atasnya dengan daun. Di atasnya letakkan pemberat,bisa menggunakan batu atau ulekan,  yang terpenting tujuannya tercapai. tujuan memberi pemberat itu adalah untuk memeras agar air dari rebung itu keluar. Setelah sekitar 2 hari cobalah lihat apakah airnya sudah banyak yang keluar. Jika sudah biasanya rebung akan menjadi lebih lemas, tidak renyah lagi. saat itu rebung dibongkar lalu dijemur di panas matahari hingga terasa hangat. Kalau sudah hangat dibungkus daun lagi. kembali pada proses seperti sebelumnya. Begitu diulang hingga rebung menjadi lunak berwarna kecoklatan dan berbau sedap. Jika dilakukan dengan benar, rebung tidak akan membusuk atau berulat. Inilah yang disebut bobo.

Bobo tidak bisa langsung dimakan. Harus dimasak dulu. Ada dua cara masak yang saya sukai. Yang pertama digoreng dengan tepung dan dibumbui. Jaman dulu simbah-simbah menggunakan tepung jagung untuk menggoreng. Sekarang saya pakai tepung apa saja yang saya temukan di dapur. Bumbunya tidak saya bocorkan, silahkan berimajinasi sendiri. Yang kedua dimasak dengan santan, bumbunya antara lain ketumbar dan daun jeruk. Bumbu lainnya? Rahasiaaa….

Farmer atau peasant?

(ini edisi revisi dari tulisan sebelumnya yang lebih panjang, bertele-tele, dan emosional)
26 Februari 2012, pagi sekitar jam 7. Saya sedang menghabiskan kopi, lalu tiba-tiba terpikir sesuatu yang memang ingin saya kerjakan sejak beberapa hari sebelumnya. Sebuah keisengan minggu pagi (yang meskipun  bagi saya tidak ada bedanya hari  Minggu atau hari yang lain). Maka saya kirimkan SMS ke beberapa teman kuliah dulu yang sekarang berprofesi sebagai guru bahasa inggris. SMS-nya berbunyi begini ‘kata apa yang kau ajarkan kepada murid-muridmu untuk menyebut petani dalam bahasa inggris?’

Sekitar jam 9 seorang teman membalas ‘ya pasti farmer’ begitu katanya, dan apa gambar yang biasa menyertainya? Tanya saya lagi, jawabnya adalah orang membawa cangkul. Jawaban seorang teman yang lain seperti ini ‘ngetes pa py? wg farmer ae msk lali.[1] Emang ada kata yang lain?’. Teman ketiga menjawab agak ragu-ragu ‘farmer. Salah ya?’ sedang jawaban teman keempat yang baru menjawab SMS saya selepas maghrib adalah ‘farmer. Lha kenapa nis?’.

Lalu setelah beberapa bulan berlalu saya bertanya kepada teman yang lain, jawabannya ‘ngetes po ngece iki?’ tapi kemudian dia menjawab ‘aku pakai istilah yang standar, farmer’. Okay, artinya ada istilah yang tidak standar menurutmu… aku masih mengejar. Ia menjawab lagi, ya maksudnya bukan ada yang tidak standar,cuma umumnya kan orang-orang pake istilah itu. jadi ya istilah yang banyak dipakai itu tak anggap standar J (smiley-nya juga dari dia).

Ketika saya bertanya kenapa tidak pakai peasant, seorang teman mengatakan bisa saja, hanya konotasinya itu adalah petani yang melarat atau buruh tani. Saya tidak bertanya lebih lanjut. Hanya kemudian memintanya melakukan apa yang biasa diminta dosen-dosen kami dulu ‘consult your dictionary…’. Dan saya pun melakukan hal yang sama.

Pertama saya membuka Oxford advanced learner’s dictionary terbitan tahun 1989 untuk melihat arti kata farmer dan menemukan

Farmer (n) person who owns or manages a farm
Sedangkan farm itu sendiri adalah dalam kamus itu diartikan sebagai berikut :
(n) 1 area of land, and the buildings on it, used for growing crops or raising animal 2 farmhouse and the buildings near it 3 place where certain fish or animals are raised
Farm (v) grow crops or rear animals

Berikutnya saya memeriksa Longman dictionary untuk melihat arti kedua kata itu
farm1 /fArm/ n. [C] an area of land used for raising
animals or growing crops: farm animals | I grew up on a farm. | a dairy/hog/cattle etc. farm [ORIGIN:
1300—1400 Old French ferme “rent, lease,”
from Latin firmus “firm, fixed”]
farm2 v. [I,T] to use land for raising animals or
growing crops: Our family has farmed here for years.
farm·er /'fArmø/ n. [C] someone who owns or
manages a farm

lalu apa bedanya dengan peasant?  Oxford advanced learner’s dictionary mengartikan sebagai berikut :
Peasant (n) 1 (in the rural areas of some countries) farmer owning or renting a (usu small) piece of land which he cultivates himself 2 (formerly)poor agricultural worker 3 (infml derog) person with rough unrefined manners

Sedang Peasant dalam longman dictionary artinya adalah :

peas·ant /'pEz@nt/ n. [C] a poor farmer who
owns or rents a small amount of land, either in past
times or in poor countries
sebenarnya farmer juga, hanya ada adjektif di depannya ‘poor’, dan ada beberapa kata kunci di situ : small piece of land, poor, cultivates himself, dan rent.

Seorang teman kemudian bertanya ‘ada istilah lain?’ Lalu saya menawarkan peasant, apalagi kalau yang diceritakan adalah petani di Indonesia,dan apalagi kalau gambarnya petani membawa cangkul. Dia bilang, benar juga ya petani kita kan kebanyakan tidak punya farm….

Bagi kita yang hidup di Indonesia, tentunya farm dan farmer bukanlah kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan sebagian besar petani kita. Masyarakat petani kita yang menghuni desa-desa yang tersebar di seluruh negeri yang katanya agraris ini sebagian besar hanya memiliki lahan kurang dari ¼ hektar.  saya tidak mengada-ada atau melebih-lebihkan. Gunawan Wiradi dan Dianto Bachriadi dalam Enam Dekade Ketimpangan, Masalah Penguasaan Tanah di Indonesia (September 2011) membandingkan hasil 5 sensus pertanian, tahun 1963, 1973, 1983, 1993, dan 2003. Dari data tersebut jumlah absolute landless hanya menurun sekali pada periode 1973-1983, selebihnya jumlahnya meningkat terus. Sementara jumlah rumah tangga pertanian terus meningkat di tiap periodenya. Dalam data sensus luas lahan pertanian baik sawah maupun ladang di jawa dan di luar jawa mengalami peningkatan, namun jika melihat tingkat penguasaan lahan oleh petani nampak penurunannya. Sementara jumlah luas perkebunan besar semakin meningkat utamanya di luar jawa.  Itu adalah realitas kehidupan kita.

Sebagai sebuah awalan untuk memperkenalkan realitas hidup kita kepada generasi penerus bangsa, saya berpendapat bahwa kepada mereka haruslah diperkenalkan kata ‘peasant’ dan bukan kata farmer. Karena dengan mengenal kata peasant itu maka yang tergambar di dalamnya adalah kehidupan senyatanya dari bagian besar rakyat di negeri ini. Karena lebih dari sebuah kata, peasant adalah sebuah konsep. Menyelaminya orang akan melihat ketidak adilan, ketimpangan, ketertindasan, hilangnya akses atas sumberdaya,  yang selama ini diromantisir dalam gambar seorang petani sederhana mengenakan caping dan memikul cangkul. Agar pelajaran sekolah tidak menjadi fiksi belaka.



[1] Ngetes apa gimana? Wong farmer saja masak lupa. 

Friday, 10 February 2012

the real princess

Hans Christian Andersen, pendongeng itu, bercerita tentang seorang pangeran yang sedang mencari istri. Bukan sembarang perempuan yang ia cari, ia mencari seorang putri, dan yang lebih khusus lagi, seorang putri sejati. Ia telah pergi berkeliling-keliling mencari putri semacam itu, tidak berhasil. Entahlah berapa lama dan berapa jauh ia mencari. Patut diingat bahwa ia seorang pangeran. Tentu saja ia punya banyak keleluasaan, waktu, uang, dan mungkin juga tanpa harus mengeluarkan uang, karena ia berkuasa. Tentu saja itu tidak mustahil, bahkan pangeran masa kini pun, semisal anak presiden juga memiliki privilege semacam itu. Meski tidak jelas apa pekerjaannya ia toh tetap hidup mewah dan berbeda dengan para penganggur lain.

Setelah gagal mencari, suatu malam putri itu datang sendiri mengetuk pintu istana ayah sang pangeran. Yang anehnya sangat mudah diakses, seperti pintu istana itu berada sangat dekat dengan jalan. Mungkinkah raja tidak punya tanah cukup luas yang memungkinkan dia memiliki halaman? Dan di mana gerangan para prajurit yang biasa diceritakan selalu siap siaga berjaga dan tidak akan membolehkan siapa pun sembarangan masuk? Tapi nyatanya begitulah ceritanya. Dan malam itu begitu gelap gulita, dan lagi hujan lebat turun disertai badai mengamuk. putri yang mengetuk pintu itu basah kuyup dan kedinginan. Nampaknya dia seorang putri yang bandel karena tidak jelas juga diceritakan apa yang dia lakukan di malam berhujan badai begitu, dan darimana dia berasal. Ia sungguh-sungguh menentang stereotype seorang putri.Tapi tetap saja ia memperkenalkan dirinya sebagai putri sejati itu.

Ratulah yang punya gagasan untuk mengetesnya. Ia percaya putri sejati mestilah sangat lembut dan perasa. Dalam cerita itupun tidak dijelaskan apakah pengetahuan ini juga pernah disampaikan kepada pangeran sehingga memudahkan pangeran untuk mengetahui apakah putri-putri yang ditemuinya putri sejati atau bukan. Yang jelas ratu kemudian menaruh biji-biji kacang di bawah kasur, tiga butir saja bukan sekarung, lalu menumpukinya dengan dua puluh kasur di atasnya. Di atas ke dua puluh kasur itu ditumpuknya dua puluh kasur bulu yang lembut. Oh alangkah banyak persediaan kasur mereka….

Tumpukan kasur itu pastilah sangat tinggi, bayangkan  empat puluh kasur …. Jika masing-masing kasur tebalnya 20 cm –karena sepertinya tidak masuk akal kasur raja tipis- maka empat puluh kasur tingginya 800 cm, jika dikonversikan ke meter jadi 8 meter. Apakah untuk keperluan ini ratu meminta pelayannya menjebol langit-langit kamar? Atau memang kamar-kamar mereka setinggi itu? Juga tetap menjadi misteri. Putri itu pun harus naik ke pembaringannya dengan menggunakan tangga, tidak ada cara lain bukan? Tangga itupun mestilah sangat panjang. Tapi karena mereka adalah keluarga kerajaan kurasa sangat mungkin mereka memiliki kemewahan untuk memiliki tangga yang panjang sekali. Bahkan yang panjangnya seperti rel kereta api!

Paginya ketika ratu bertanya nyenyakkah tidur sang putri semalam? Putri itu ternyata sama sekali tidak dapat memejamkan mata semalaman. Sang ratu menyimpulkan, pastilah kacang-kacang itu yang menyebabkannya. Dan itu pastilah putri sejati, karena dia dapat merasakan adanya tiga butir kacang di bawah empat puluh kasur. Pangeran pun menikahinya, karena merasa menemukan putri sejati. Tetapi aku berpendapat lain, putri itu pasti tidak bisa tidur karena takut jatuh. Bagaimana tidak? Dia tidur di ketinggian 8 meter, belum ditambah dengan tingginya kaki-kaki ranjang. Seandainya putri itu takut ketinggian, dia pasti sudah mati kaku…..

(ini dongeng yang diceritakan hans christian Andersen itu…)
There was once a Prince who wished to marry a Princess; but then she must be a real Princess. He travelled all
over the world in hopes of finding such a lady; but there was always something wrong. Princesses he found in plenty; but whether they were real Princesses it was impossible for him to decide, for now one thing, now another, seemed to him not quite right about the ladies. At last he returned to his palace quite cast down, because he wished so much to have a real Princess for his wife.
One evening a fearful tempest arose, it thundered and lightened, and the rain poured down from the sky in torrents:
besides, it was as dark as pitch. All at once there was heard a violent knocking at the door, and the old King, the
Prince’s father, went out himself to open it. It was a Princess who was standing outside the door.
What with the rain and the wind, she was in a sad condition; the water trickled down from her hair, and her clothes
clung to her body. She said she was a real Princess.
‘Ah! we shall soon see that!’ thought the old Queenmother; however, she said not a word of what she was going
to do; but went quietly into the bedroom, took all the bedclothes off the bed, and put three little peas on the bedstead.
She then laid twenty mattresses one upon another over the three peas, and put twenty feather beds over the mattresses. Upon this bed the Princess was to pass the night. The next morning she was asked how she had slept. ‘Oh, very badly indeed!’ she replied. ‘I have scarcely closed my eyes the whole night through. I do not know what was in my bed, but I had something hard under me, and am all over black and blue. It has hurt me so much!’
Now it was plain that the lady must be a real Princess, since she had been able to feel the three little peas through
the twenty mattresses and twenty feather beds. None but a real Princess could have had such a delicate sense of feeling.
The Prince accordingly made her his wife; being now convinced that he had found a real Princess. The three peas
were however put into the cabinet of curiosities, where they are still to be seen, provided they are not lost.
Wasn’t this a lady of real delicacy?