Tahun ini Maulid Nabi jatuh pada tanggal 20 November. Beberapa tahun terakhir saya melewatkan perayaan Maulid Nabi di tengah-tengah komunitas pendalungan. Dan saya mulai memperhatikan hal-hal menarik tentang perayaan hari besar ini. Ya, perayaan. Mereka sungguh-sungguh merayakan kehadiran Nabi dengan berbagai tradisi yang indah.
Saat Maulid Nabi tiba, di Lumajang dengan mudah kita dapati penjual keranjang bambu anyam kecil-kecil. Orang-orang menggunakannya untuk tempat buah-buahan. Konon, saat Nabi lahir alam berkelimpahan buah-buahan. Segala macam pohon tengah berbuah. Dan itulah yang beberapa kali saya amati. Ketika Maulid Nabi bertepatan dengan panen alpukat, manggis, rambutan, langsep, melengkapi buah-buah lain yang tidak musiman. Dan keranjang buah yang dibawa ke musholla pun penuh dengan aneka ragam buah segar itu.
Keranjang buah tersebut dibawa ke musholla, yang pada perayaan ini dihias-hias dengan kertas warna-warni layaknya suatu pesta ulang tahun. Di musholla biasanya ada pengajian, melantunkan sholawat nabi bersama-sama, dan makan bersama.
Di komunitas pendalungan Jember, waktu saya tinggal ketika peringatan Maulid Nabi, ibu pemilik rumah bilang bahwa besok akan membuat nasi kabuli. Yang biasanya dihidangkan saat Maulid Nabi. Ternyata nasi kabuli itu adalah ketan yang masak dengan santan dan bumbu-bumbu, seperti memasak nasi kuning. Dihidangkan dengan serundeng dan masakan ayam. Dalam sehari itu, nasi susah ditemukan. Hampir semua rumah memasak ketan.
Hari itu, keluarga-keluarga berkumpul. Menikmati kebersamaan. Anak, menantu, mengantar makanan ke orang tuanya. Dan benar atau tidaknya tata ritual sebuah peringatan Maulid dipercaya sangat besar pengaruhnya terhadap ketentraman dan kesejahteraan hidup suatu komunitas. Ibu tempat saya tinggal bercerita, saat ada gempa besar (yang entah tahun berapa), semua orang mengulang selamatan Maulid Nabi. Karena pada selamatan sebelumnya mereka menggunakan kertas minyak dan bukan daun pisang sebagai alas makanan.
blog ini ditulis berdua, oleh nining dan nisa, setelah melihat begitu kompleksnya percakapan kami
Tuesday, 12 February 2019
Monday, 11 February 2019
Patirtan Belahan
Kolam dan pancurannya |
Relief yang menggambarkan gerhana |
Patirtan ini tentunya adalah bagian yang tersisa dari kompleks pertapaan Airlangga, yang memerintah dari tahun 1009-1042. Yang konon setelah turun dari tahtanya menjalani hidup sebagai pertapa, dan membangun pertapaannya di lereng gunung ini. Mengingat bahwa wilayah kerajaannya adalah di sekitar Sidoarjo dan Pasuruan, maka tidak terlalu mengherankan bahwa Airlangga memilih lereng ini sebagai tempat pertapaannya. Kini, dari jalan raya Gempol kita hanya perlu menempuh perjalanan sekitar setengah jam dengan kendaraan bermotor. Melalui jalan pegunungan yang mendaki. Mungkin pada masa Airlangga, dengan naik kuda, juga tidak diperlukan waktu berminggu-minggu untuk sampai di sini dari pusat kerajaannya.
Di tempat ini pula, diperkirakan Airlangga meninggal dan dimakamkan. Entah di sebelah mana. Tidak terdapat pertandanya.
Tempat ini terawat dengan baik. Dibangun pagar di sisi depan patirtan, dan nampaknya dibersihkan secara rutin. Ada larangan untuk tidak menggunakan sampo ataupun sabun jika mandi di kolam. Meski masih juga nampak kemasan shampo sachet di dasar kolam. Kolamnya cukup dalam, sehingga dapat dipakai berenang. Menurut teman saya yang tinggal di dekat patirtan, biasanya air kolam jauh lebih dalam dari saat itu.
Persawahan di dekat patirtan |
Bagaimana arti tempat ini bagi masyarakat di sekitar, tentulah sangat beragam cara mereka memandang. Dari pengunjung yang berdatangan kita bisa melihat bermacam maksud kedatangan. Sebagian mungkin -terutama yang tinggal di sekitarnya- menjadikannya sumber kebutuhan air bersihnya, ada pula yang seperti saya, datang untuk memuaskan keingintahuan dan mengumpulkan bahan pamer, maupun yang berniat melakukan ritual berendam. Apapun niatnya. Di malam Jum'at legi banyak sekali orang datang dan berendam di kolam. Saat itu lampu dimatikan. Mungkin agar mereka yang sedang berendam dapat berkonsentrasi pada meditasinya, atau sebab lain, karena banyak juga yang berendam tanpa pakaian. Tempat ini dianggap sebagai salah satu tempat yang dapat membantu mewujudkan kehendak-kehendak yang diniatkan, juga, air yang keluar dari dada Laksmi dianggap oleh sebagian orang dapat menjadikan awet muda, bahkan berkhasiat obat. Mungkin juga ada benarnya. Mereka yang rajin membasuh muka, akan nampak lebih segar. Apalagi jika airnya bersih dan dilakukan secara rutin. Juga, sejak dulu banyak terapi pengobatan menggunakan air. Bukankah pada jaman dulu di Eropa juga banyak pemandian yang digunakan sebagai tempat untuk menerapi mereka yang sakit? Meski, tentu saja, pendapat dan kepercayaan bahwa mencelupkan diri sebentar di patirtan ini akan spontan membuat orang awet muda dan sembuh dari sakit adalah hal absurd.
Ini kami bertiga |
Subscribe to:
Posts (Atom)