Tuesday, 12 February 2019

Marhaban ya Rasulullah

Tahun ini Maulid Nabi jatuh pada tanggal 20 November. Beberapa tahun terakhir saya melewatkan perayaan Maulid Nabi di tengah-tengah komunitas pendalungan. Dan saya mulai memperhatikan hal-hal menarik tentang perayaan hari besar ini. Ya, perayaan. Mereka sungguh-sungguh merayakan kehadiran Nabi dengan berbagai tradisi yang indah.

Saat Maulid Nabi tiba, di Lumajang dengan mudah kita dapati penjual keranjang bambu anyam kecil-kecil. Orang-orang menggunakannya untuk tempat buah-buahan. Konon, saat Nabi lahir alam berkelimpahan buah-buahan. Segala macam pohon tengah berbuah. Dan itulah yang beberapa kali saya amati. Ketika Maulid Nabi bertepatan dengan panen alpukat, manggis, rambutan, langsep, melengkapi buah-buah lain yang tidak musiman. Dan keranjang buah yang dibawa ke musholla pun penuh dengan aneka ragam buah segar itu.

Keranjang buah tersebut dibawa ke musholla, yang pada perayaan ini dihias-hias dengan kertas warna-warni layaknya suatu pesta ulang tahun. Di musholla biasanya ada pengajian, melantunkan sholawat nabi bersama-sama, dan makan bersama.

Di komunitas pendalungan Jember, waktu saya tinggal ketika peringatan Maulid Nabi, ibu pemilik rumah bilang bahwa besok akan membuat nasi kabuli. Yang biasanya dihidangkan saat Maulid Nabi. Ternyata nasi kabuli itu adalah ketan yang masak dengan santan dan bumbu-bumbu, seperti memasak nasi kuning. Dihidangkan dengan serundeng dan masakan ayam. Dalam sehari itu, nasi susah ditemukan. Hampir semua rumah memasak ketan.

Hari itu, keluarga-keluarga berkumpul. Menikmati kebersamaan. Anak, menantu, mengantar makanan ke orang tuanya. Dan benar atau tidaknya tata ritual sebuah peringatan Maulid dipercaya sangat besar pengaruhnya terhadap ketentraman dan kesejahteraan hidup suatu komunitas. Ibu tempat saya tinggal bercerita, saat ada gempa besar (yang entah tahun berapa), semua orang mengulang selamatan Maulid Nabi. Karena pada selamatan sebelumnya mereka menggunakan kertas minyak dan bukan daun pisang sebagai alas makanan.


Monday, 11 February 2019

Patirtan Belahan

Kolam dan pancurannya
Di desa Wonosunyo di Lereng sebelah timur Gunung Penanggungan, yang secara administratif masuk Kecamatan Gempol, Pasuruan, terdapat satu tempat bersejarah. Patirtan. Meski tidak nampak ada candinya di situ, namun tempat ini disebut Candi Belahan. Yang ada di sini adalah sebentang dinding batu bata, sekitar 5-6 m panjangnya. Yang terdiri dari tumpukan batu bata tebal berbentuk persegi, bukan persegi panjang seperti pada umumnya sekarang. Ada dua arca di bagian depan dinding itu. Itu adalah arca perwujudan isteri-isteri Airlangga. Dalam bentuknya sebagai Laksmi dan Sri. Dari salah satu arca, air mengalir dari dadanya. Yang membuat tempat ini juga disebut sebagai Sumbertetek. Air yang mengalir begitu jernih. Dan katanya mata air ini tak pernah kering. Mungkin karena lingkungan di sekitarnya masih terjaga. Pepohonan besar dan tetumbuhan lain mengelilingi tempat ini. Beningnya air dapat kita lihat di kolam yang menampung curahan air dari pancuran ini. Kita bisa melihat dan, jika mau, menghitung jumlah bebatuan di dasar kolam. Juga melihat sisik-sisik ikan yang berenang-renang di dalamnya.

Relief yang
menggambarkan gerhana
Di halamannya ada batu lingga yang berdiri tegak, dan lempeng batu besar yang mestinya dulu ada reliefnya. Sayangnya, sudah rusak. Relief inilah yang disebut sebagai catatan pertama tentang gerhana. Menggambarkan sosok Betara Kala hendak menelan bulatan. Di bawahnya dua sosok digambarkan. Batara Surya, Dewa matahari dan Betari Chandra, dewi Bulan. Bulatan yang hendak ditelan Betara Kala tersebut diperkirakan adalah simbol bulan atau matahari. Catatan ini diperkirakan merekam kejadian gerhana bulan pada tahun 1009. Namun, sebagian ahli berpendapat bisa pula catatan ini tidak merujuk pada peristiwa gerhana tertentu. karena di bawah terdapat sosok Dewa Surya dan Dewi Chandra. Bisa jadi relief ini menunjukkan pengetahuan mengenai fenomena terjadinya gerhana, bulan ataupun matahari. Hingga kini pun masyarakat Jawa masih banyak yang mempercayai bahwa gerhana terjadi karena bulan atau matahari dimakan oleh Betara Kala.

Patirtan ini tentunya adalah bagian yang tersisa dari kompleks pertapaan Airlangga, yang memerintah dari tahun 1009-1042. Yang konon setelah turun dari tahtanya menjalani hidup sebagai pertapa, dan membangun pertapaannya di lereng gunung ini. Mengingat bahwa wilayah kerajaannya adalah di sekitar Sidoarjo dan Pasuruan, maka tidak terlalu mengherankan bahwa Airlangga memilih lereng ini sebagai tempat pertapaannya. Kini, dari jalan raya Gempol kita hanya perlu menempuh perjalanan sekitar setengah jam dengan kendaraan bermotor. Melalui jalan pegunungan yang mendaki. Mungkin pada masa Airlangga, dengan naik kuda, juga tidak diperlukan waktu berminggu-minggu untuk sampai di sini dari pusat kerajaannya.

Di tempat ini pula, diperkirakan Airlangga meninggal dan dimakamkan. Entah di sebelah mana. Tidak terdapat pertandanya.

Tempat ini terawat dengan baik. Dibangun pagar di sisi depan patirtan, dan nampaknya dibersihkan secara rutin. Ada larangan untuk tidak menggunakan sampo ataupun sabun jika mandi di kolam. Meski masih juga nampak kemasan shampo sachet di dasar kolam. Kolamnya cukup dalam, sehingga dapat dipakai berenang. Menurut teman saya yang tinggal di dekat patirtan, biasanya air kolam jauh lebih dalam dari saat itu.

Persawahan di dekat patirtan
Di sekitar patirtan ada beberapa warung kopi, yang bisa jadi tempat duduk-duduk memandangi alam sekitar yang hijau dan indah. Tentunya Airlangga dulu tidak ngopi di warung sambil melihat orang lewat seperti kami tadi pagi. Sekitarnya pesawahan, hutan, dan jurang. Di bagian bawah jalan ada mata air yang dimanfaatkan oleh penduduk sebagai sumber kebutuhan air bersih. Karena mata air ini berada jauh di bawah pemukiman, air dinaikkan menggunakan pompa hidrolis. Tentu bukan hal mudah. Selain itu, banyak juga warga yang mengambil air langsing dari pancuran di patirtan, menggunakan jerigen.

Bagaimana arti tempat ini bagi masyarakat di sekitar, tentulah sangat beragam cara mereka memandang. Dari pengunjung yang berdatangan kita bisa melihat bermacam maksud kedatangan. Sebagian mungkin -terutama yang tinggal di sekitarnya- menjadikannya sumber kebutuhan air bersihnya, ada pula yang seperti saya, datang untuk memuaskan keingintahuan dan mengumpulkan bahan pamer, maupun yang berniat melakukan ritual berendam. Apapun niatnya. Di malam Jum'at legi banyak sekali orang datang dan berendam di kolam. Saat itu lampu dimatikan. Mungkin agar mereka yang sedang berendam dapat berkonsentrasi pada meditasinya, atau sebab lain, karena banyak juga yang berendam tanpa pakaian.  Tempat ini dianggap sebagai salah satu tempat yang dapat membantu mewujudkan kehendak-kehendak yang diniatkan, juga, air yang keluar dari dada Laksmi dianggap oleh sebagian orang dapat menjadikan awet muda, bahkan berkhasiat obat. Mungkin juga ada benarnya. Mereka yang rajin membasuh muka, akan nampak lebih segar. Apalagi jika airnya bersih dan dilakukan secara rutin. Juga, sejak dulu banyak terapi pengobatan menggunakan air. Bukankah pada jaman dulu di Eropa juga banyak pemandian yang digunakan sebagai tempat untuk menerapi mereka yang sakit? Meski, tentu saja, pendapat dan kepercayaan bahwa mencelupkan diri sebentar di patirtan ini akan spontan membuat orang awet muda dan sembuh dari sakit adalah hal absurd.

Ini kami bertiga
Kunjungan saya hari ini sesungguhnya sudah cukup lama direncanakan. Namun berkali-kali urung. Mungkin karena jaraknya dekat saja dari tempat bekerja yang baru. Sehingga merasa dapat pergi sewaktu-waktu. Menyenangkan, ketika akhirnya saya sampai di sini juga. Setidaknya ada yang dapat diceritakan pada orang lain :), Dan ada kegembiraan yang bertahan hingga hari-hari berikutnya. Mungkin demikianlah yang dimaksudkan pada kata refreshing. Suatu proses untuk menyegarkan kembali dari kejenuhan dengan jalan melihat sesuatu yang baru dan berbeda. Di sini, udara segar, air jernih, kelengangan, dan kehijauan tetumbuhanlah yang membuat saya kembali dari kebosanan akan rutinitas hidup sehari-hari.