Repost
April 16th, 2008
seolah kemarau telah tiba lama
sama sekali tak kentara kalau dua hari sebelumnya hujan turun dengan derasnya
abu turun, tapi tak sederas kemarin
jalan-jalan mulai mengering
tak lagi becek
kami berjalan bertiga beriringan
mengobrol ringan sepanjang jalan
jalanan ini, tanah lempung hitam dan padat
pasti dingin di kaki
tapi saya memakai sandal
beberapa kali kami berpapasan dengan orang-orang
yang sudah pulang
mereka memikul kayu atau pakan ternak
pasti mereka berangkat pagi-pagi sekali
sapa dan tawa bertukar-tukar
seolah tak ada yang perlu dikhawatirkan
padahal ketika kami sampai di tepi sungai
yang air jernih dan sejuknya mengalir deras
itulah kekhawatiran
semua orang bergegas karena berlomba dengan sungai ini
ia bisa saja segera berubah perangai dari ramah dan menawarkan kesegaran
menjadi berwajah keruh membawa batu-batu, pasir, dan lumpur
dan tak segan menghanyutkan apa saja
batang kayu, tebing batu, atau orang lalu
tapi pagi itu ia begitu bening dan menyenangkan
jadi kami menyeberang dengan tenang
lalu jalanan mulai mendaki
kopi, kopi, kopi di kiri kanan
kalliandra dan gliricidia di sela dan di tepinya
tak banyak tanaman lain, atau pohon hutan yang tersisa
tidakkah ini juga kekhawatiran?
satu jam kami sampai di sepetak lahan dengan kopi yang masih muda
nafas tersengal keringat membanjiri punggung
dan haus
duduk di gubuk kami merasakan angin menciptakan rasa anyep di kulit kami
keringat membuat suhu tubuh lebih dingin
beberapa jambu biji merah yang masih mengkal berbalut abu
tapi rasanya benar-benar nikmat
maklum kehausan
segera setelah itu dua perempuan itu bergerak
mengayunkan sabitnya ke cabang-cabang kalliandra
bakal pakan kambing yang menunggu di kandangnya
mengayunkan sabitnya ke cabang-cabang kalliandra
bakal pakan kambing yang menunggu di kandangnya
tak lama semua telah terkumpul
tak perlu susah payah soal pakan
ternak
tanah ini subur, siapa mau menanam
akan memetik hasilnya
meski ada gamang, kalau-kalau
perhutani datang kembali mengklaim lahan ini
lalu ketika matahari hampir sampai
di atas kepala kami
kami pulang
kami pulang
mbak tukinah yang hamil tujuh bulan mambawa seikat kayu di atas kepalanya
mbak ngatirah dengan pakan kambing
saya hanya membawa tas berisi daun singkong
mbak ngatirah berjalan setengah berlari menuruni jalan sempit ini
mungkin hanya beban di atas kepalanya yang ada di pikirannya
adakah waktu untuk berhenti dan berpikir dalam hidup ini
bukankah kita memang berjalan terburu setengah berlari tanpa sempat berpikir lagi?
tapi mbak tukinah berjalan lebih pelan
entah apa yang dipikirkannya
mungkin suaminya yang bekerja di
atau anak dalam kandungannya
atau entah apa
mereka perempuan-perempuan yang bertahan dalam sulitnya hidup
tanpa bisa berbuat banyak
mereka hanya dua di antara yang sejenisnya
mungkin di barisan itu pula aku berdiri
dalam