Hans Christian Andersen, pendongeng itu, bercerita tentang seorang pangeran yang sedang mencari istri. Bukan sembarang perempuan yang ia cari, ia mencari seorang putri, dan yang lebih khusus lagi, seorang putri sejati. Ia telah pergi berkeliling-keliling mencari putri semacam itu, tidak berhasil. Entahlah berapa lama dan berapa jauh ia mencari. Patut diingat bahwa ia seorang pangeran. Tentu saja ia punya banyak keleluasaan, waktu, uang, dan mungkin juga tanpa harus mengeluarkan uang, karena ia berkuasa. Tentu saja itu tidak mustahil, bahkan pangeran masa kini pun, semisal anak presiden juga memiliki privilege semacam itu. Meski tidak jelas apa pekerjaannya ia toh tetap hidup mewah dan berbeda dengan para penganggur lain.
Setelah gagal mencari, suatu malam putri itu datang sendiri mengetuk pintu istana ayah sang pangeran. Yang anehnya sangat mudah diakses, seperti pintu istana itu berada sangat dekat dengan jalan. Mungkinkah raja tidak punya tanah cukup luas yang memungkinkan dia memiliki halaman? Dan di mana gerangan para prajurit yang biasa diceritakan selalu siap siaga berjaga dan tidak akan membolehkan siapa pun sembarangan masuk? Tapi nyatanya begitulah ceritanya. Dan malam itu begitu gelap gulita, dan lagi hujan lebat turun disertai badai mengamuk. putri yang mengetuk pintu itu basah kuyup dan kedinginan. Nampaknya dia seorang putri yang bandel karena tidak jelas juga diceritakan apa yang dia lakukan di malam berhujan badai begitu, dan darimana dia berasal. Ia sungguh-sungguh menentang stereotype seorang putri.Tapi tetap saja ia memperkenalkan dirinya sebagai putri sejati itu.
Ratulah yang punya gagasan untuk mengetesnya. Ia percaya putri sejati mestilah sangat lembut dan perasa. Dalam cerita itupun tidak dijelaskan apakah pengetahuan ini juga pernah disampaikan kepada pangeran sehingga memudahkan pangeran untuk mengetahui apakah putri-putri yang ditemuinya putri sejati atau bukan. Yang jelas ratu kemudian menaruh biji-biji kacang di bawah kasur, tiga butir saja bukan sekarung, lalu menumpukinya dengan dua puluh kasur di atasnya. Di atas ke dua puluh kasur itu ditumpuknya dua puluh kasur bulu yang lembut. Oh alangkah banyak persediaan kasur mereka….
Tumpukan kasur itu pastilah sangat tinggi, bayangkan empat puluh kasur …. Jika masing-masing kasur tebalnya 20 cm –karena sepertinya tidak masuk akal kasur raja tipis- maka empat puluh kasur tingginya 800 cm, jika dikonversikan ke meter jadi 8 meter. Apakah untuk keperluan ini ratu meminta pelayannya menjebol langit-langit kamar? Atau memang kamar-kamar mereka setinggi itu? Juga tetap menjadi misteri. Putri itu pun harus naik ke pembaringannya dengan menggunakan tangga, tidak ada cara lain bukan? Tangga itupun mestilah sangat panjang. Tapi karena mereka adalah keluarga kerajaan kurasa sangat mungkin mereka memiliki kemewahan untuk memiliki tangga yang panjang sekali. Bahkan yang panjangnya seperti rel kereta api!
Paginya ketika ratu bertanya nyenyakkah tidur sang putri semalam? Putri itu ternyata sama sekali tidak dapat memejamkan mata semalaman. Sang ratu menyimpulkan, pastilah kacang-kacang itu yang menyebabkannya. Dan itu pastilah putri sejati, karena dia dapat merasakan adanya tiga butir kacang di bawah empat puluh kasur. Pangeran pun menikahinya, karena merasa menemukan putri sejati. Tetapi aku berpendapat lain, putri itu pasti tidak bisa tidur karena takut jatuh. Bagaimana tidak? Dia tidur di ketinggian 8 meter, belum ditambah dengan tingginya kaki-kaki ranjang. Seandainya putri itu takut ketinggian, dia pasti sudah mati kaku…..
(ini dongeng yang diceritakan hans christian Andersen itu…)
There was once a Prince who wished to marry a Princess; but then she must be a real Princess. He travelled all
over the world in hopes of finding such a lady; but there was always something wrong. Princesses he found in plenty; but whether they were real Princesses it was impossible for him to decide, for now one thing, now another, seemed to him not quite right about the ladies. At last he returned to his palace quite cast down, because he wished so much to have a real Princess for his wife.
One evening a fearful tempest arose, it thundered and lightened, and the rain poured down from the sky in torrents:
besides, it was as dark as pitch. All at once there was heard a violent knocking at the door, and the old King, the
Prince’s father, went out himself to open it. It was a Princess who was standing outside the door.
What with the rain and the wind, she was in a sad condition; the water trickled down from her hair, and her clothes
clung to her body. She said she was a real Princess.
‘Ah! we shall soon see that!’ thought the old Queenmother; however, she said not a word of what she was going
to do; but went quietly into the bedroom, took all the bedclothes off the bed, and put three little peas on the bedstead.
She then laid twenty mattresses one upon another over the three peas, and put twenty feather beds over the mattresses. Upon this bed the Princess was to pass the night. The next morning she was asked how she had slept. ‘Oh, very badly indeed!’ she replied. ‘I have scarcely closed my eyes the whole night through. I do not know what was in my bed, but I had something hard under me, and am all over black and blue. It has hurt me so much!’
Now it was plain that the lady must be a real Princess, since she had been able to feel the three little peas through
the twenty mattresses and twenty feather beds. None but a real Princess could have had such a delicate sense of feeling.
The Prince accordingly made her his wife; being now convinced that he had found a real Princess. The three peas
were however put into the cabinet of curiosities, where they are still to be seen, provided they are not lost.
Wasn’t this a lady of real delicacy?